Rabu, 14 April 2010

KOMUNIKASI POLITIK

Istilah komunikasi politik mungkin sering kita dengar setiap kali kita melihat tayangan televise atau membacara surat kabar. Berbagai definisi dari komunikasi politik ini, berdasarkan pakar dan ahli menunjukkan bahwa definisi tersebut menggabungkan antara definisi komunikasi dan unsure-unsur politik. Menurut dahlan (1999) ialah suatu bidang atau disipolin yang menelaah perilaku dan kegitan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian symbol-simbol yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain dengan tujuan untuk membuka wawasan, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.
Meadow dalam Nimmo (2004) juga membuat definisi bahwa “Political communication ferers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system”. Disini Meadow memberi tekanan bahwa symbol-simbol atau pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap system politik. Akan tetapi, Nimmo sendiri mengutip Meadow dalam bukunya itu hanya memberi tekanan pada pengaturan umat manusia yang dilakukan di bawah kondisi konflik, sebagaimana disebutkan “communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict”.
Dalam buku Introduction to Political Communication oleh McNair (2003) dinyatakan bahwa “Political communication os pure discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative and executive decition), and official sanctions (what the state reward or punishes).” Jadi komunikasi menurut McNair adalah murni membicarakan tentang alokasi sumber daya public yang memiliki nilai, apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi, petugas yang memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau aturan, apakah itu legislative atau eksekutif, serta sanksi-sanksi, apakah itu dalam bentuk hadiah atau denda. Agar komunikasi politik itu tidak hanya membicarakan tentang kekuasaan, Doris Graber mengingatkan dalam tulisannya “Political Language” (1981) bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup symbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh atau tindakan-tindakan politik seperti boikot, protes dan unjuk rasa. Dari penjelasan diatas, jelas komunikasi politik mempunyai adalah proses komunikasi yang memiliki implikasi atau kensekuensi terhadap aktivitas politik.
Dalam menunjang proses perpolitikan yang demokratis, komunikasi politik mempunyai filosofi pemberdayaan sumber daya komunikasi apakah itu sumber daya manusia, infrastruktur, maupun piranti lunak untuk mendorong terwujudnya system politik yang demokratis, dimana pemerintahan dipegang oleh pemenang pemilu dengan melindungi hak-hak golongan yang kalah. Seperti halnya proses komunikasi yang biasa dilakukan, dalam komunikais politik ini mempunyai unsure-unsur tersendiri yang mendukung terjadinya proses komunikasi tersebut. Unsure-unsur tersebut adalah komunikator politik, pesan politik, saluran politik, sasaran atau target politik dan pengaruh komunikasi politik.
Fungsi komunikasi politik
Sebagai disiplin ilmu, komunikasi politik menurut McNair (2002:21) memiliki lima fungsi dasar, yakni sebagai berikut:
a. Memberikan informasi kepada masyarkat apa yang terjadi disekitarnya.
b. Mendidik masyarakat terhadap arti signifikansi fakta yang ada.
c. Menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk opini public, dan mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat.
d. Membuat publikasi yang ditujukan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga politik.
e. Dalam masyarakat yang demokratis, media politik berfungsi sebagai saluran advokasi yang bisa mmebantu agar kebijakan dan program-program lembaga politik dapat disalurkan kepada media massa.
Jika fungsi komunikasi yang dikemukakan oleh McNair (2003) dikombinasikan dengan fungsi komunikasi yang dibuat oleh Goran Hedebro (1982), komunikasi politik berfungsi untuk:
a. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha yang dilakukan lembaga politik maupun dalam hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat;
b. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik;
c. Memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai;
d. Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini public;
e. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara;
f. Menjadi hiburan masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan menampilkan para juru kampanye, artsi dan para komentator atau pengamat politik;
g. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebagsaan guna menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional;
h. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi;
i. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita,agenda setting, maupun kmentar-komentar politik;
j. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good governance yang transparansi dan akuntabilitas.

Senin, 22 Maret 2010

Legitimasi Kekuasaan untuk Mencapai Kesejahteraan Bangsa

Di dalam dunia pemerintahan, otorisasi yang dimiliki oleh pemerintah untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban warga negara, hukum, dan lain sebagainya harus mempunyai sebuah keabsahan atau legitimasi. Legitimasi terhadap suatu otoritas kekuasaan dapat digolongkan dalam 3 hal. Legitimasi religius kekuasaan, legitimasi eliter yang nantinya mempunyai empat legitimasi yaitu legitimasi teknokrasi, legitimasi pramatis, legitimasi aristokrasi dan legitimasi ideologis dan yang terakhir adalah legitimasi etis atau demokratis.
Pertama, Legitimasi religious adalah bahwa otoritas atas sesuatu kekuasaan yang ada harus berdasarkan aspek agama atau religious. Legitimasi ini mengedepankan peran dari tokoh-tokoh agama untuk memberikan otoritas kepada lembaga Negara sehingga mendapat legitimasi.di Negara modern, legitimasi ini diaanggap kurang cocok karena perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin cepat dan semuanya harus berdasarkan sifat-sifat ilmiah dan atau data empiris. hanya vatikan yang menerapkan legitimasi religious ini. Kedua, legitimasi eliter yang terbagi menjadi empat legitimasi(aristokrasi,pragmatis,teknokrat dan ideologis). legitimasi aristokrasi adalah bahwa untuk mencapai kesejahteraan suatu Negara, pemerintahan dan segala kebijakannya harus dipegang oleh kelompok yang dianggap paling unggul dari kelompok lainnya. Suatu bentuk legitimasi yang mengesampingkan akan hak-hak mendasar dari setiap kelompok maupun individu. Pada saat sekarang ini, legitimasi aristokrasi tidak dapat digunakan dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan yang menyangkut hak dan kewajiban masyarakat umum maupun khusus. Dengan adanya perundang-undangan yang mengatur tentang hak asasi manusia (UU No. 39 Tahun 1999), bentuk legitimasi ini sangat sulit untuk diterapkan di negara manapun. Legitimasi pragmatis adalah otoritas kekuasaan mendapatkan tempat hanya dengan kemampuan militer. Angkatan bersenjata mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur segala kebijakan disuatu Negara. Legitimasi pragmatis hanya berlaku pada saat suasana darurat seperti dalam keadaan perang atau keadaan yang mengancam jiwa orang banyak seperti perang di irak,afganistan, palestina dan lain sebagainya.legitimasi ideologis adalah bentuk otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah berdasarkan ideology tertentu semacam ideology komunis atau sosialis. Legitimasi ini berlaku di Negara-negara komunis. Dan legitimasi teknokrasi adalah legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh orang-orang yang memang ahli dibidangnya seperti badan eksektuif,legislative maupun yudikatif di Negara demokrasi. Ketiga, legitimasi etis atau demokrasi adalah legitimasi yang dimiliki oleh suatu lembaga Negara yang berdasarkan kehendak rakyat. People power atau kekuasaan rakyat mendapat kedudukan utama. Sehingga prinsip demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan dan dari rakyat,oleh rakyat, untuk rakyat menjadi sebuah hal yang tidak dapat ditawar lagi.
Pertanyaan besar mungkin menghampiri dibenak kita. Bentuk legitimasi apa yang cocok untuk digunakan pada saat ini?. Di era globalisasi ini, dimana setiap kebijakan dalam suatu Negara harus mampu menyesuaikan diri. Bentuk penyesuaian diri ini memerlukan sebuah energy yang sangat besar baik itu dari pemerintah sendiri maupun dari masyarakatnya. Otoritas kekuasaan pemerintah untuk menentukan kebijakan harus berdasarkan tiga prinsip legitimasi di atas. Legitimasi relgius dianggap kurang relevan bagi negar modern karena berdasarkan agama yang notabenenya mengandung hal-hal yang berbau metafisik sehingga melemahkan eksistensi dari lembaga pemerintah itu sendiri. Legitimasi eliter juga terdapat bentuk legitimasi yang kurang cocok. Legitimasi aristokrasi lebih mengunggulkan satu golongan sehingga cenderung mengurangi hak-hak mendasar manusia sebagai individu,legitimasi pragmatis hanya berlaku pada saat kondisi darurat saja. Mungkin dari legitimasi eliter ini, dua kemungkinan yang masih bisa digunakan yaitu legitimasi ideology dan legitimasi teknokrasi. Namun melihat dari perkembangan Negara-negara modern dan ilmu pengetahuan legitimasi ideology dan teknokrasi pada saat ini tidak mendapat respons yang signifikan. Ideology boleh menjadi dasar memberikan otoritas atau orang-orang yang berada dibidangnya yang bisa. Namun apakah sesuai dengan keadaan masyarakat sekarang ini? Mungkin hanya legitimasi etis atau demokratis yang dapat diadopsi oleh banyak Negara karena legitimasi ini mengedepankan suara rakyat yang notabenenya pihak yang mengalami suatu kebijakan tertentu. 
Mungkin itu sekelumit pendapat dari saya tentang legitimasi kekuasaan yang digunakan oleh Negara-negara modern dalam mengambil kebijakan termasuk Indonesia yang masih mencari jati diri dalam mencari bentuk legitimasinya. Ada legitimasi hokum namun jika tidak relevan dan memihak kepada rakyat, bentuk legitimasi itu akan tidak relevan.


Sabtu, 06 Februari 2010

Pull Marketing, Push Marketing dan Pass Marketing

a. Pull Marketing adalah proses pembentukan citra kandidat dan atau produk politik melalui media (She dan Burton, 2001). Terdapat dua cara penggunaan media ini adalah dengan membayar dan tanpa membayar. Kelebihan dari pendekatan ini adalah pertama, penyampaian secara menyeluruh bagi masyarakat Indonesia karena melalui media yang tersebar diberbagai tempat. Kedua, proses pembentukan citra akan terus dilakukan karena melalui media massa. Ketiga, Jika melalui free media, maka akan efisiensi dana. Kelemahannya adalah pertama, harus selalu dikoordinasi agar pesan tidak lepas dari positioning awal. Kedua, biaya dapat membengkak dengan tiba-tiba. Ketiga, dapat terjadi kesalahan teknis.
b. Push Marketing adalah proses pengenalan kandidat dengan terjun langsung kepada masyarakat atau dengan cara personal. Hal ini digunakan agar produk politik dapat lebih menyentuh kepada para pemilih. Kelebihan dari pendekatan ini adalah pertama dengan berbicara langsung akan menampilkan efek yang berbeda bagi pemilih dan dimungkinkan lebih cepat untuk digiring menjadi massanya. Kedua, kontak langsung sehingga pesan dapat lebih cepat masuk. Ketiga, menghumaniskan kandidat. Keempat, meningkatkan antusiasme masyarkat dan media massa. Kelemahan dari pendekatan ini adalah pertama, tidak dimungkinkan untuk mengunjungi semua daerah di Indonesia. Kedua, waktu yang dibutuhkan akan sangat lama. Ketiga, pembentukan citranya kurang menyeluruh dan hanya kepada kelompok tertentu saja.
c. Pass Marketing adalah sedikit lebih kompleks daripada kedua pendekatan di atas. Hal ini dikarenakan adanya pihak-pihak atau kelompok yang mempunyai pengaruh terhadap pemilih. Kelebihan dari pendekatan ini adalah pertama, dapat menekan biaya karena sudah memegang kepala kelompok pemilih. Kedua, koordinasi lebih mudah diantara kandidat dan opinion leadernya. Ketiga, untuk penggalangan isu-isu di daerah tertentu. keempat, hamper semua tujuh alat dalam tiga pendekatan bisa digunakan Kelemahan dari pendekatan ini adalah peneguhan dukungan jika tidak dikontrol dapat lepas. Kedua, tidak semua kelompok terdapat opinion leadernya dan sikap, kedewasaan dan kesadaran politik sudah mulai tumbuh di masyarakat.

Pendekatan untuk Mengetahui Perilaku Pemilih

Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilaku pemilih, tapi terdapat pula factor penting lainnya seperti ras, agama atau keyakinannya, dan kelas social dsb. Oleh karena itu diperlukan beberapa pendekatan untuk mengetahui perilaku pemilih. Ada 4 pendekatan untuk mengetahuinya yaitu:
a. Pendekatan Sosiologis (Mazhab Columbia). Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik dan pengelompokan social (usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, dsb) merupakan factor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada hakikatnya adalah pengalaman kelompok (Nimmo, 1993).
b. Pendekatan Psikologis (mazhab Michigan). Mazhab ini menggarisbawahi adanya sikap politik para pemberi suara yang menetap. Teori ini dilandasi oleh konsep sikap dan sosialisasi. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya. Bahkan ketika kandidat masih muda, karena sikap dan sosialisasi ini bias dibentuk melalui orang tuanya. Sehingga muncul istilah identifikasi partai yang disebabkan lamanya sosialisasi. Para pemilih yang dipengaruhi oleh factor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif (Dan Nimmo,1989).
c. Pendekatan Rasional. Pendekatan ini mengidentifikasikan bahwa para pemilih dapat berubah pandanga pada setiap saat. Para pemilih ini bertindak rasional dengan pilihannya. Mereka melakukan penilaian yang valid terhadap tawaran partai. Nimmo menggolongkan para pemilih ini sebagai pemberi suara yang rasional. Pemilih rasional itu memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan mendapat informasi yang cukup. 

Poin-poin Penting dalam Marketing Politik

Marketing Segmentation

secara naluriah, seorang politisi ingin meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya seperti halnya para pemasar/pengusaha ingin meraup pelanggan sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai semua itu, diperlukan pilihan tempat dan strategi yang tepat. Para marketer politik perlu untuk memilah-milah para pemilih untuk dikelompokkan kedalam beberapa kategori sehingga penyampaian pesan politik dapat maksimal dan pada akhirnya memilih sang calon. Pengertian segmentasi politik sedikit berbeda dengan segmentasi secara sosiologis. Kalau di secara sosiologis merupakan kelompok tertentu yang memunyai kesadaran bersama dan saling berinteraksi (Horton & hunt, 1984), tetapi segmentasi dalam terminology marketing tidak sama dengan kelompok. Pada dasarnya segmentasi bertujuan untuk mengenal lebih jauh kelompok-kelompok pasar untuk mencari peluang, dan menganalisisnya. Sehingga segmentasi disini adalah mengenal perbedaan setiap segmen. Tetapi semua itu bukan jaminan ketika kita menguasai segmen, suara pemilih jadi milik kita. Segmen harus mempunyai 5 syarat yaitu dapat diakses, dapat diukur, substansial, respon khas dan program pemasaran yang efektif pula(Kotler, 1994). Dengan penentuan atas segmen ini, marketing dapat dijalankan sesuai analisa pasar setiap segmen.

Positioning Politik

Dalam disiplin marketing, “menempatkan” seorang kandidat atau sebuah partai dalam pemikiran para pemilih disebut positioning. Bagi marketer, positioning sangt menentukan keberhasilan pemasaran. 66% konsultan Eropa Barat dan 70% konsultan Amerika mengakui positioning ini sebagai penentu kesuksesan. Dalam political marketing, positioning adalah tindakan untuk menancapkan citra tertentu ke dalam benak para pemilih agar tawaran produk politik dari suatu kontestan memiliki posisi khas, jelas dan meaningful. Dalam penancapan ini, biasanya perbedaan kandidat dengna kandidat lain yang menjadi positioning tetapi tidak semua perbedaan itu diterima oleh masyarakat sehingga berharga. Ada 6 syarat yang harus dimiliki yaitu penting, istimewa, superior, dapat dikomunikasikan, preemptive dan jumlah pemilih signifikan. 

Produk Politik

Produk politik, meminjam konsep Popkins (1994), analog dengan saham yang menjanjikan keuntungan masa depan. Hanya saja, tidak sama dengan saham perusahaan, dalam politik orang tidak bias melepas atau menggantikan sahamnya setiap saat sebab bursa pemilu tidak dilakukan setiap saat . selain itu, sebuah suara dapat memiliki makna jika sejumlah pemilih tertentu juga membuat pilihan yang sama sehingga kontestan memperoleh kursi. Tingkat intensitas untuk mencari informasi juga tidak sama ketika mereka melakukan di bursa saham. Produk politik ini dibentuk berdasarkan karakteristik setiap segment yang dituju. Produk politik juga tidak sama dengan produk industry dimana barang yang dihasilkan dapat dilihat dan diproyeksikan keuntungannya. Tetapi produk politik mempunyai beberapa karakteristik sehingga perlu strategi khusus untuk menerapkannya seperti melalui marketing politik. Karakteristik tersebut adalah intangibility (tidak dapat diraba), inseparability (tidak dapat dipisahkan), variability (sangat beragam), perishability (tak tahan lama) dan pemilikannya tidak bisa di klaim oleh satu pihak. Jika melihat dari analisis cara-tujuan, produk politik adalah sekumpulan atribut, serangkaian manfaat, dan sekumpulan nilai (Value).