Senin, 11 Mei 2009

Berbagai Konsepsi Psikologi Tentang Manusia

Banyak teori dalam ilmu komunikasi dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi psikologi tentang manusia. Teori-teori persuasi sudah lama menggunakan konsepsi psikoanalisis yang melukiskan manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori “jarum hipodermik” (yang menyatakan media massa sangat berpengaruh) dilandasi konsepsi behaviorisme yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan semaunya oleh lingkungan (Homo Mechanicus). Teori pengolahan informasi jelas dibentuk oleh konsepsi-konsepsi psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk aktif mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens). Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens).
Walaupun psikologi telah banyak melahirkan teori-teori tentang manusia, tetapi empat pendekatan yang dicontohkan di atas adalah yang paling dominant: psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanistis.
Konsepsi Manusia dalam Psikoanalisis
Kita mulai dengan psikoanalisis, karena dari seluruh aliran psikologi, psikoanalisis secara tegas memperhatikan struktur jiwa manusia. Sigmund Freud . pendiri psikoanalisis, ia memfokuskan perhatiannya kepada totalitas kepribadian manusia, bukan kepada bagian-bagian yang terpisah.
Menurut Freud, perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dlam kepribadian manusia Id, Ego dan Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia-pusat instink-. Ada dua instink dominant: 1. Libido—instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang bersifat konstruktif; 2. Thanatos—instink destruktif dan agresif.
Subsistem yang kedua –Ego—berfungsi menjembatani tuntukan id dengan realitas di dunia luar. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai eujud yang rasional (pada pribadi yang normal). Ia bergerak berdasarkan prinsip realitas. Unsure moral dalam pertimbangan terakhir Freud adalah superego. Superego adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hari nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma social kiltural masyarakatnya. Ia memaksa Ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam bawah sadar.


Konsepsi Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap instrospeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang nampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia-kecuali instink-adalah hasil belajar.
Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukan idea yang menghasilkan pengetahuan, tetapi kedua-duanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu.
Sejak Thorndike dan Watson sampai sekarang, kaum behavioris berpendirian: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat social atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanayak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dalam membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia, ia mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan relevan.
Konsepsi Manusia dalam Psikologi Kognitif
Ketika asumsi-asumsi behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, psikologi social bergerak ke arah paradigma baru. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, tetapi sebagai makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya:makhluk yang selalu berpikir (Homo Sapiens).
Kaum rasionalis mempertanyakan apakah betul bahwa penginderaan kita, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran. Kemampuan alat indera kita dipertanyakan karena seringkali gagal menyajikan informasi yang akurat. Bukankah mata anda menatakan bahwa kedua rel kereta api yang sejajar itu bertemu di ujung sana? Deskrates juga Kant menyimpulkan bahwa jiwalah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima.
Para psikolog gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalisis, adalah orang-orang jerman: meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respon kepada stimuli secar otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan mendistorsi lingkungan. Dikalangan ilmu komunikasi dikenal preposisi “words don’t mean, people mean”.
Lewin menambahkan tentang adannya tension (tegangan) yang menunjukkan suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tension melahirkan banyak teori yang digabung dengan istilah teori (konsistensi kognitif). Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa individu berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalaman.bila makna tidak optimal, timbul tension yang memotivasi seseorang untuk menguranginya. Fritz Heider, leon Fesinger, Abelson adalah tokoh-tokoh ini.
Konsepsi Manusia dalam psikologis Humanistik
Psikologi humanistic dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi. Revolusi pertama dan kedua adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Pada behaviorisme manusia hanyalah mesin yang dibentuk lingkungan, pada psikoanalisis manusia melulu dipengaruhi oleh naluri primitifnya. Keduanya tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan, seperti cinta, kreativitas, nilai, makna dan pertumbuhan pribadi. Inilah yang diisi oleh psikologi humanistic.
Psikologi humanistic mengambil banyak dari psikoanalisis NeoFreudian (sebenarnya Anti-Freudian) seperti Adler, Jung, Rank, Slekel Ferenzi; tetapi lebih banyak lagi mengambil dari fenomenologi dna eksistensiolisme. Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “ dunia kehidupan” yang dipersepssi dan diinterprertasi secara subyektif. Setiap orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “ Alam pengalaman setiap orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.”
Perhatian pada makna kehidupan adalah juga hal yang membedakan psikologi humanistic dengan madzhab lain. Manusia bukan saja pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas, tetapi juga pencari makna.
Carl Rogers mengarisbesarkan pandangan humanisme sebagai berikut:
1. setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi dimana dia-sang Aku, Ku, atau diriku-menjadi pusat
2. manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
3. individu bereaksi pada situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya.
4. anggapan akan adanya ancaman terhadap diri akan diikuti oleh pertahanan diri-berupa penyempitan dan pengkakuan persepsi dan perilaku penyesuaian serta penggunaan mekanismepertahanan ego seperti rasionalisme.
5. kecenderungan batiniah manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda dapat memberikan komentar seputar blog ini..trims.